Catatan Kuratorial

Catatan Kuratorial: Caang Mumbul Dina Batok

Terap Festival 2025
Oleh Ferial Afiff & Trianzani Sulshi

01
Caang Mumbul Dina Batok

(Terang Melambung Dalam Tempurung)

Oleh Ferial Afiff & Trianzani Sulshi

Lebih dari dua dekade, keluarga saya tinggal di kawasan Tubagus Ismail, belakang Pasar Simpang Dago. Gang-gang sempit, atap-atap rapat, dan langit yang nyaris hilang oleh apartemen dan kafe bertingkat menjadi latar hidup yang berubah cepat. Namun di balik riuh pembangunan, Dago menyimpan lapisan memori: dari pemindahan Kampung Coblong pada 1910 demi proyek PLTA, villa kolonial yang kini jadi titik macet wisata, hingga Sanatorium Dago Heuvel, tempat penyembuhan jiwa yang kini tinggal jejak samar.

Meski terus berubah, masih ada tubuh-tubuh yang menjaga. Di Dago Pojok, Jembatan Cika-Cika dan komunitas perawat sungai Cikapundung merawat koneksi antara manusia dan alam. Di Babakan Siliwangi, ruang hijau dipertahankan lewat perjuangan kolektif hingga diakui dunia sebagai Hutan Kota. Dago menjadi lanskap berlapis: antara nostalgia dan gentrifikasi, lorong kos-kosan menuju monumen perjuangan, rumah tua berjuluk “rumah hantu”, dan suara pasar tumpah yang menandingi pusat perbelanjaan modern.

Ruang kota hari ini, sebagaimana terlihat di Dago dan Coblong, sering kali dirancang dari kejauhan, oleh logika yang tak menyentuh keseharian warganya. Dalam lanskap yang dibangun tanpa mendengar, ruang dialog tergantikan oleh fungsi-fungsi steril. Namun kota tak sepenuhnya bisu. Ia menyimpan gema: langkah kaki, cahaya matahari yang menyelinap di antara kanopi, dan percakapan samar di dinding tua.

Dalam celah-celah itu, teater dan seni performatif di ruang publik, hadir bukan sekadar untuk ditonton, tetapi untuk bertanya, merawat, dan mengganggu. Ia menjadi cara membaca ulang kota, bukan dengan rumus ekonomi atau cetak biru bangunan, tetapi dari tubuh yang berjalan, suara yang mengarsip, dan cahaya yang menandai ingatan.

Pertunjukan di ruang publik bukanlah panggung mewah, bukan sebagai tontonan, tapi sebagai cara bertanya dan mengingat. Pertunjukan yang lahir dari tanah yang dipijak bersama, menghidupkan kembali narasi-narasi yang dibisukan pembangunan.

Sebab kota bukan cetakan keseragaman, tapi jalinan keberagaman pengalaman yang tinggal, menunggu, atau sekadar melintas. Dalam ketidakteraturan itu, performativitas menjadi cara mendengar dan menghidupi ruang secara bersama. Tubuh menjadi pengingat; ruang menjadi peristiwa.

02
Rangkuman Sejarah

Pengamatan saya selama 25 tahun banyaknya hidup di kawasan perbatasan antara Tubagus Ismail dan Sekeloa, Kecamatan Coblong, wilayah Dago ini menjadi kawasan yang sangat riuh, selalu terjadi pembangunan dan semakin padat. Hidup di dalam gang akan semakin terasa dari pembangunan yang semakin mempersempit gang, pandangan ke langit bisa tertutup karena rumah-rumah kecil semakin bertingkat, dengan tingkat atasnya bisa dibangun hingga menutup gang. Keluar sedikit, 10 menit jalan kaki sudah bertemu Simpang Dago. Simpang Dago bagian timur, pertigaan antara Jl Tubagus Ismail Raya dan Jalan Ir H Juanda, dimulai dari setiap subuh sisi jalannya menjadi lokasi pasar, pedagang yang mendadak menggelar berbagai hasil buminya di pinggir jalan. Walaupun 200 meter dari pertigaan terdapat Pasar Simpang, areal dengan layout khas pasar basah tradisional, masuk kedalam dengan barisan kios-kios di dalamnya, nampaknya tidak mampu membendung jumlah penjual.

Sebelah barat Simpang Dago menuju utara, ternyata lokasi asal sebelum Kampung Coblong dipindah oleh pemerintah kota pada 1910, karena proyek pelebaran jalan menuju ke penampungan air di Bukit Dago, pemindahan ini menjadi cikal bakal penduduk yang tinggal di daerah Dago. Penampungan air di Bukit Dago merupakan bagian dari proyek PLTA Bengkok dan Dago, yang memanfaatkan aliran Sungai Cikapundung, serta untuk keperluan air bersih bagi warga Bandung Bagian Utara.

Semakin menanjak ke utara setelah wilayah Kampung Coblong, para pekebun Eropa membangun rumah peristirahatan yang besar dan mewah. Rumah tertua dibangun oleh Andrees de Wilde pada 1820-an, yang juga berfungsi sebagai gudang kopi, lokasinya berada di sebelah Hotel Jayakarta. Rumah besar peristirahatan atau vila biasanya berada di kawasan sejuk, hening, berarti Kawasan Dago awalnya daerah terpencil. Sementara sebrangnya kawasan gedung PMI sekarang, merupakan wilayah Sanatorium Dago Heuvel dibangun 1932 oleh Ny. dr. Scheltz van Kloosterhuis-Houtman, tempat perawatan dan peristirahatan bagi penderita penyakit saraf, lengkap dengan fasilitas lapangan tenis, kolam renang, dan hutan pinus. Setelah kemerdekaan berubah fungsi jadi sanatorium militer, kemudian kompleks perumahan karyawan PMI.

Kini titik macet menuju utara kerap dimulai dari depan Hotel Jayakarta, terutama saat akhir pekan dan musim libur, untuk pengendara motor masih bisa selap-selip, namun bagi mobil bisa berhenti total. Wilayah Bukit Dago menjadi jalur menuju kawasan Kabupaten Bandung Barat, atau kawasan Kabupaten Bandung, lokasi destinasi wisata yang beragam jenisnya, dua kabupaten yang berbatasan langsung dengan Coblong, kini sudah menjadi nama Kecamatan. Salah satu tempat menarik di kawasan perbatasan ini, masih dalam Kecamatan Coblong adalah wilayah Jembatan Cika-Cika diatas aliran sungai Cikapundung, tempat Komunitas Cika-cika (singkatan dari Cikalapa-Cikapundung) yang aktif menjaga kebersihan sungai, berada di Jl. Dago Pojok Tanggulan Cikalapa 2.

Kalau kembali turun menuju selatan Bukit Dago, turun melewati Simpang Dago, sedikit ke barat kita akan bertemu dengan hutan kota Babakan Siliwangi, lokasi Sanggar Olah Seni berada. Rencana menjadikan hutan kota sudah sejak 1920, namun muncul rencana komersialisasi wilayah ini, terutama sejak awal 1970-an, dimulai dari dibangun Restoran Babakan Siliwangi dan berbagai fasilitas wisata lainnya, yang menimbulkan perdebatan dalam rangka menjaga kelestarian hutan kota, hingga kemudian puncak polemiknya saat kebakaran restoran tersebut di 2003. Pihak swasta masih terus membayangi lokasi tersebut, hingga isu pembangunan apartemen, tapi pada 2011 muncul gerakan aktivis, akademisi, dan budayawan. Suatu malam, para penolak kebijakan itu berkemah di Hutan Kota Babakan Siliwangi, dari malam orasi, hingga acara “Ngaruwat” pagi harinya, dengan mengubur telur angsa busuk di bawah sebuah pohon. Hutan Kota Babakan Siliwangi di Bandung telah ditetapkan sebagai Hutan Kota Dunia oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 2011. Barulah pada 2013 pemerintah Kota Bandung mengambil langkah tegas dengan memutus kerjasama dengan pihak swasta.

Sepertinya Kota Bandung sebagai tempat wisata sudah menubuh puluhan tahun, kalau kita kembali ke sedikit ke arah timur dari Hutan Kota Babakan Siliwangi, akan lurus terpampang Jalan Ir. H. Juanda yang membentang dari utara kawasan Bukit Dago hingga ke bawah, beberapa meter setelah Simpang Dago adalah kawasan wisata yang lain. Kalau bentangannya dari ingatan saya di awal 2000an, wilayah yang dikenal sebagai Jalan Dago, sudah menjadi pusat keramaian. Dahulu setiap malam minggu, saya dan keluarga akan jalan-jalan sepanjang jalan ini, karena menjadi lokasi warung-warung tenda beraneka warna berada, menjadi lokasi nongkrong untuk makan pisang, roti, jagung bakar.

Lalu masih di lokasi yang sama, atraksinya berubah menjadi lokasi belanja baju murah, puluhan factory outlet ada di kawasan ini, menempati rumah-rumah tua yang berubah wajah. Hingga saya lupa sejak kapan trotoarnya menjadi lebar, dan seolah menjadi tempat yang nyaman untuk berjalan kaki, dan menjadi lokasi Car Free Day setiap minggu pagi.

Sisa-sisa masa lalu dari jaman Belanda, masih bisa terendus di jalanan ini, dibalik gemerlap warung tenda, sentra factory outlet, atau kini pedesterian lebar, terdapat sebuah rumah no.141 yang dijuluki rumah hantu. Masuk kedalam seratus meter dari jalan utama, membuat pekarangannya jadi lokasi parkiran. Sebelahnya kini sudah menjadi SPBU, tapi rumah tersebut dihimpit pepohonan dan tanaman, masih berdiri sejak jaman Belanda.

Sementara kalau saya kembali ke rumah orang tua dan nenek saya berada, perbatasan Tubagus dan Sekeloa, masih di kawasan Kecamatan Coblong, tak jauh di belakang Pasar Simpang Dago, jalanannya semakin sempit, bila jalan kaki lalu papasan sama motor, harus mepet tembok gang untuk bergantian menggunakan jalan. Jalan-jalan gang sempit yang menanjak dan menurun ini, bila terus ditelusuri akan sampai ke wilayah Haur Pancuh, lokasi Monumen Perjuangan berada. Suasananya sudah tidak sesejuk vila jaman Belanda, jalanannya sompal dimana-mana, hujan dikit becek, tambal sulam kolektif warga memperbaikinya, mulai dari gorong-gorongnya, hingga permukaannya yang berubah-ubah dari semen, batako, hingga aspal lebar 1-2 meter. Wilayah gang-gang sempit ini juga menjadi lokasi ratusan kos-kosan sepetak, dengan harga relatif murah, dan tidak jauh dari kampus dan aktivitas komersial lainnya.

03
Aspek-aspek Performans di Ruang Publik

Catatan kritis dari karya-karya performans di ruang publik

Karya berbasis pertunjukan di luar ruang seni/gedung kesenian, biasanya berangkat dari lokasi yang dituju, entah berdasarkan sejarah lokasi, atau bentuk lokasi yang sesuai dengan bayangan karya. Umumnya karya demikian berada di ruang publik, karena sifatnya yang tidak bisa dipisahkan dari lokasi tempat ditampilkan. Tata artistik minimalis, tidak pula menutup lokasi dengan berbagai atribut yang menjadikan lokasi tidak terlihat bentuk aslinya. Beberapa karya ruang publik bisa juga justru mempertegas suatu lokasi, sehingga lokasi yang tadinya kurang diperhatikan menjadi lebih muncul kehadirannya di mata orang banyak.

Konsep vs Realitas

Konsep yang dihadirkan seniman saat di ruang publik biasanya bertujuan baik, walaupun terkadang properti yang dipakai mengkhianatinya. Misalkan konsepnya tentang kebebasan unggas di alam liar, namun membawa seekor merpati yang dipisahkan dari pasangannya, hendak dilepaskan di bibir pantai sebagai salah satu aksi pertunjukannya. Kondisi merpati saat dilepas tampak lemas, tidak mau terbang jauh, apakah saat mengonsep dan memikirkan untuk membawa merpati sebagai properti sudah dipertimbangkan bahwa mereka monogami, bisa stres bahkan mati bila dipisahkan dari pasangannya.

Interaksi dengan Ruang

Walaupun konsep sang seniman sudah sejalan dengan lokasi yang dituju, hal lain kerap diabaikan. Misal seorang seniman menampilkan karyanya di bangunan bersejarah, lalu minyak yang di oleskan di tubuhnya saat tampil menodai batu-batuan bangunan tersebut. Penjaga bangunan jadi kesulitan membersihkan noda minyak, akhirnya merusak batu bangunan. Interaksi fisik antara tubuh performer dengan tubuh bangunan jadi tidak diperhatikan.

Negosiasi karya di ruang publik biasanya lebih dominan, dibanding menghadirkannya di ruang seni. Biasanya lokasi yang dituju bersinggungan langsung dengan warga yang hidup di lokasi tersebut, kepemilikan mereka lebih, karena erat dengan kehidupan sehari-hari. Karya seni dan senimannya saat datang ke ruang tersebut menjadi tamu, sehingga ide dan gagasannya, sebaik apapun perubahan yang diusung, tidak bisa dilepaskan dari watak lokasi. Sebagai tamu tidak boleh melawan tatanan lokasi tersebut, bahkan wajib menyadari sejak awal bahwa kepemilikan atas karyanya jadi terbagi.

Dampak pada Warga

Terkadang warga menjadi korban karya ruang publik. Saat sebuah pertunjukan di suatu kampung menghadirkan kengerian, bermain cat merah ataupun darah betulan, dengan teknik ketahanan tubuh, ataupun benar-benar menyakiti diri. Setelah penampilan yang sedemikian berdarah, penonton yang notabene penduduk di lokasi tersebut bukannya menangkap pesan, atau membuka kesadaran ingatan atas kekelaman sejarah masa lalu wilayah mereka, justru tertimpa trauma baru.

Pendokumentasian karya di ruang publik juga perlu berhati-hati, terutama apabila ada wajah warga, maupun ciri dari sudut lokasi tertentu yang masuk dalam dokumentasi. Terutama saat ruang (beserta warganya) tidak mau diekspos, lantas dokumentasi karya tersebut diputarkan ke tempat lain, apalagi menjadi produk seni komersial yang dijual, apakah sudah mendapatkan izin dari mereka yang wajahnya terpampang dalam dokumentasi? Jumlah pendokumentasi yang sangat banyak, hingga menghalangi tatapan penonton atau warga lain, atau menggeser posisi mereka, membuat penampilan para dokumentator lebih muncul dibanding senimannya.

Refleksi untuk Praktik yang Bertanggung Jawab

Melihat secara kritis beberapa karya seni performatif ruang publik di atas, selain pelaku yang menjaga tubuhnya untuk tampil prima dalam mempersiapkan suatu karya, perlu dipertimbangkan beberapa hal lain: titik lokasi terpilih harus dipertimbangkan sejak awal, hubungannya dengan konsep yang diusung, kesiapan untuk senantiasa bernegosiasi bersama warga, pertimbangan properti yang dibawa, penyampaian terhadap warga yang menonton, serta pendokumentasian.

Kompleksitas menghadirkan karya di ruang publik lebih tinggi dibandingkan di ruang seni, sebaiknya disadari secara penuh. Apabila keseluruhan aspek-aspek tersebut diatas tidak terpenuhi, maka kita perlu pertanyakan apakah sebuah karya pantas untuk disebut sebagai karya ruang publik.

Tentang Kurator

FA

Ferial Afiff

Kurator & Praktisi Seni

Ferial Afiff adalah praktisi seni yang fleksibel dengan pengalaman lebih dari satu dekade sebagai fasilitator, kurator, produser, organizer, dan peneliti dalam bidang seni, budaya, dan industri kreatif. Karyanya mengangkat isu-isu sosial, sejarah, lingkungan, dan gender, dengan seni multidisipliner yang telah dipamerkan secara internasional dan di seluruh Indonesia.

KuratorPeneliti ArtistikFasilitatorProduser

Ruang Publik sebagai Arena Refleksi

Mari kita aktifkan kembali ruang-ruang bisu ini, seperti jembatan kecil, lorong pasar, gang belakang, atau sisi sungai. Pertunjukan yang diusung bukan sebagai hiburan, tapi menjadi bentuk bertanya, dan mengingat.