Agni Ekayanti
Ruang publik di jantung kota tidak pernah sungguh-sungguh menjadi arena demokratis. Terutama bagi warga perempuan. Banyak ruang kota yang tidak aman dan tidak nyaman, batas-batas personalnya kerap kali membutuhkan peretasan. Kata-kata berseru, panggilan-panggilan nyaring, hingga cat-calling berhamburan, apalagi bila berjalan seorang diri. Diskusi ini hendak membagi sejauh mana ruang publik seringkali menghadirkan ancaman serius bagi kesehatan fisik, maupun kesehatan mental perempuan. Sesi ini membuka percakapan tentang bagaimana pengalaman perempuan dalam ruang publik kerap dipinggirkan, dan bagaimana teater dapat hadir sebagai praktik partisipatif untuk menciptakan akses yang imbang, bahkan kalau bisa jadi setara, merayakan kota sebagai milik bersama.
Tiga seniman perempuan: Hanadia Mumtaz, Chao Man Chun, Panca Lintang, akan memantik, untuk membicarakan bagaimana cara menyiasati ruang-ruang minor melalui proses karya mereka: ruang-ruang yang masih terasa berbahaya, atau merugikan bagi perempuan. Dari titik ini, kemudian seorang kurator: Trianzani Sulshi, dan seorang tokoh undangan: Keni K. Soeriaatmadja menanggapi paparan seniman dari sudut pandang mereka.
1. Sejauh mana cita-cita hak perempuan dapat terlaksana dengan baik dalam meruang di arena publik? Bagaimana proyek artistik dapat mempertanyakan hak perempuan secara lebih radikal, lebih jauh?
2. Apa yang dapat dipertukarkan? Apakah melalui proses teater mampu membangun celah untuk turut menggugat ruang kota? Bagaimana teater/performance menanggapi sejarah, trauma, dan kepingan peristiwa di ruang publik?
Di tubuh kota yang riuh, sempitnya ruang gang menjadi tubuh sesak yang melahirkan banyak pengetahuan praksis. Di tengah botram, di tengah dangdutan, di tengah gosip bada zuhur menuju ashar dan bada ashar menuju maghrib, keluh dan canda dari Ibu-Ibu yang memenuhi gang adalah senandung kehidupan. Senandung yang menggema hingga speaker senam di hadapan gedung sate, yang menggema dalam buihan minyak goreng yang kian melonjak harganya meski harus tetap menjual bala-bala dengan harga yang murah. Apa yang bisa ditangkap dan dilempar dalam Simposium bersama para Pakar Mother Gang Tubagus Ismail Dalam, melalui materi kisah kehidupan sebagai basis pengetahuan praksis?
Akhir masa muda di SMA nggak pernah pasti. Bayangin kalau suatu hari masa SMA kamu tiba-tiba direnggut gitu aja dan kamu nggak pernah sempet ngelakuin perpisahan, foto bareng, jalan-jalan, dan hal memorable lainnya untuk terakhir kali. Kalau gitu, gimana nasib kenanganmu? Makanya, di Pensi ini, kita akan coba merayakan semua kenangan itu dan membuat kenangan baru yang tidak terlupakan. Kali ini sepenuh-penuhnya, sebebas-bebasnya
Pasar Simpang Dago telah lama menjadi persimpangan perdagangan, tempat orang-orang dari segala penjuru bertemu. Keberadaannya sekarang adalah berkat Swadaya Masyarakat, Pasar Simpang Dago diperkirakan sudah ada sejak 1949, dan di renovasi secara menyeluruh pada 1968. Sebagai orang luar, bukan penjual namun pembeli, Chao Man Cun merefleksikan apa yang dilakukan para penjual di Pasar Simpang sangatlah luar biasa. Dalam sudut pandang sejarah, mereka memelihara sejarah untuk terus hidup di masyarakat, menjaga lokasi yang terkenal sejak jaman Belanda sebagai penantian dan pertemuan (dago-an), pada pilihan-pilihan sadar dari tubuh dan jiwa mereka, meninggalkan sebuah catatan mendalam yang bergerak melintasi ruang dan waktu bersama mereka yang terus berkumpul di tempat tersebut.
Diskusi penting tentang bagaimana teater dapat mementaskan hak perempuan atas kota dan merawat ruang-ruang minor yang lebih inklusif.