Pada diskusi pertama ini, kita berangkat dari usaha mengolah dan merawat pengalaman teater yang sedang berlangsung, sekaligus yang akan berlangsung selama festival. Yang terutama: bagaimana proses-proses ini berakar pada keterikatan dan kemengakaran—yakni suatu relasi afektif yang tumbuh erat di antara seniman, warga, dan ruang yang mereka olah bersama.
Diskusi kali ini sengaja ditempatkan di tengah karya yang sedang hidup, bukan setelahnya. Tujuannya ialah menciptakan jeda sebagai ruang bernapas kolektif—alih-alih sekadar testimoni seniman yang biasanya muncul setelah pertunjukan.
Dengan begitu, kita dapat menekankan peran vital afeksi: bahwa penciptaan teater ruang publik tidak ditentukan oleh satu pusat tunggal, melainkan oleh arus kompleks yang berjalin antara seniman dan warga, seniman dan kurator, seniman dan ruang, serta seniman dan logistik material yang tersedia.
"Teater ruang publik menempatkan seniman bukan sebagai otoritas, melainkan sebagai agen yang menjembatani titik-titik kerumitan sosial, ekonomi, dan historis. Dari sini lahir pertanyaan penting: bagaimana seniman mengolah kepercayaan, menanamkan perasaan pada ruang, sekaligus menegosiasikan afek yang telah lama menyejarah di sana?"
Sahlan Mujtaba
Riyadhus Shalihin (Direktur artistik)
Proses ini diurai melalui rancangan bentuk lokakarya, membuka ruang interaksi berlapis antara seniman, warga, dan ruang.
Berkolaborasi dengan komunitas ibu-ibu di Sekeloa melalui pertunjukan intim di rumah warga—sebuah gestur yang menandai rumah bukan hanya sebagai ruang domestik, melainkan pula arena produksi pengetahuan dan resistensi.
Bekerja sama dengan ekskul Cakra, Secret, dan Teater AH Smansa Dago di SMA Negeri 1 (Smansa), menjadikan teater sebagai alat untuk membongkar relasi tubuh muda dengan disiplin sekolah dan arsitektur institusi pendidikan.
Menghidupkan ruang hijau Babakan Siliwangi—menegaskan tubuh sebagai bagian dari ekologi yang kian terancam gentrifikasi.
Seniman Taiwan yang menyusuri Pasar Simpang Dago sebagai infrastruktur tubuh kolektif yang menolak direduksi menjadi sekadar komoditas; pasar di sini adalah tubuh sosial yang bernapas.
Dalam kategori karya berkelanjutan, kembali menghadirkan Gerilya Bunyi—yang pada edisi pertama tampil sebagai interupsi akustik—kali ini diproyeksikan ulang di Jalan Braga. Arsitektur kolonial di kawasan itu menjadi resonator sejarah dan ingatan yang belum selesai, menggaungkan kontradiksi antara kapitalisme kota dan suara rakyat yang menuntut tempatnya.
Diskusi ini menciptakan ruang bernapas kolektif untuk memahami bagaimana seniman dan warga berkolaborasi dalam teater ruang publik.